Mahasiswa sekarang banyak yang pesimis dengan masa depan mereka. Apa yang akan dilakukan setelah tamat kuliah? Kerja dimana? Beberapa dari mahasiswa bahkan punya persepsi bahwa cari kerja sekarang susah kalau tidak ada koneksi. Meskipun berprestasi, tapi tanpa koneksi akan sulit mendapat pekerjaan. Tidak mudah meyakinkan mahasiswa sekarang bahwa dengan berprestasi maka peluang mendapatkan pekerjaan semakin besar.Tentunya akan lebih baik lagi jika dibekali dengan kepemimpinan. Kunci sukses seseorang setelah menjadi sarjana antara lain adalah : - prestasi dan – kepemimpinan.
Ukuran prestasi mahasiswa secara formal tentunya dilihat dari Indeks Prestasi Kumulatif.
NIlai-nilai yang diperoleh dari evaluasi pada setiap mata kuliah yang diikuti selama kuliah menggambarkan prestasi mahasiswa, terlepas dari variasi mutu pelajaran yang didapatkan di bangku perguruan tinggi. Setidaknya, dalam melamar pekerjaan, Indeks Prestasi Kumulatif merupakan salah satu persyaratan untuk minimal lolos seleksi awal. Akan hal kepemimpinan, dapat terbentuk pada diri seseorang, antara lain melalui keikutsertaan dalam suatu pengolahan perkuliahan (SAL / student active learning). Masalahnya sekarang adalah, mahasiswa beranggapan bahwa prestasi dan kemimpinan yang dimiliki tidak lagi menjamin akan mudah mendapatkan pekerjaan setelah tamat kuliah.
Sikap dan pandangan ini sangat mempengaruhi perilaku dan budaya belajar mahasiswa. Dibandingkan dengan masa kuliah saya dulu, budaya belajar mahasiswa sekarang jauh berbeda. Sekarang mahasiswa cenderung mau serba instant. Kuliah dianggap sebagai suatu kegiatan formalitas saja.Tidak jarang terlihat mahasiswa menghabiskan lebih banyak waktunya untuk kegiatan2 semacam ormas, organisasi kepemudaan diluar kampus, aktif dalam berdemonstrasi …bahkan menjadi pemain bayaran….
Kegiatan seminar atau membuat karya ilmiah semakin kurang diminati siswa. Seolah tidak ada lagi hal yang dapat memotivasi siswa untuk berprestasi.
Jika diamati, fenomena ini semakin menjadi-jadi setelah reformasi. Pasca reformasi, siapapun dapat menjadi pejabat. Tanpa harus melalui perjuangan panjang melewati suatu jenjang pendidikan tertentu, siapapun dapat duduk menjadi anggota partai politik, … yang penting ada koneksi. Pengaruh koneksi orang kuat, atau petinggi negara jelas semakin terlihat peranannya dalam penerimaan pegawai. Tidak perlu prestasi dan embel2 lainnya seperti kepribadian menarik, kemandirian, jiwa pemimpin, dsb, asal punya koneksi orang kuat maka peluang kerja sudah didepan mata. Krisis keteladanan, kira2 begitu yang saya tangkap dari pembicaraan dengan mahasiswa. Mau jadi wirausahawan, mencari proyek juga sulit kalau tidak ada “orang dalam” di departemen/lembaga/ institusi. Mau masuk ke swasta kita bersaing dengan ribuan pelamar kerja yang sebagian merupakan titipan orang tertentu .
Bagaimana caranya menumbuhkan kembali rasa percaya diri dan optimisme mahasiswa?
Saya hanya dapat memberikan pandangan kepada mereka bahwa motivasi harus diubah, jangan lagi kuliah untuk mendapatkan predikat sarjana sebagai modal kerja. Mahasiswa harus sadar bahwa kegiatan akademik baik kurikuler maupun non kurikuler adalah suatu proses untuk membina kepribadian, pola pikir untuk meningkatkan kualitas hidup. Kegiatan perkuliahan adalah proses pembentukan pola pikir mahasiswa agar berpikir analitis, kritis dan kreatif hingga mampu menciptakan lapangan kerja. Kegiatan non kurikuler dimaksudkan agar siswa mempunyai kesempatan untuk berorganisasi dan mengembangkan bakatnya di lingkungan kampus. Dengan aktifitas dalam suatu organisasi tertentu, diharapkan mahasiswa belajar mengelola suatu institusi kecil, mengemukakan pendapat, mendengar dan belajar menghargai pendapat orang lain. Mahasiswa dapat mengembangkan kreatifitas dan menuangkan ide2 serta pemikirannya, tukar pengalaman, pengamatan dan pendapat melalui kegiatan non kurikuler.
Dengan demikian, tujuan masuk Perguruan Tinggi bukan sekedar untuk “menuntut ilmu” agar menjadi sarjana dan ijasah sarjananya digunakan untuk melamar pekerjaan saja. Justru pengetahuan dan pengalaman di kampus merupakan modal menciptakan lapangan kerja. Pandangan itu harus diubah agar tidak menimbulkan apatisme ketika ijasah “sarjana” tidak laku melamar pekerjaan apabila tidak ada “koneksi”. Jadilah pencipta lapangan kerja, hindarkan menjadi pemburu lapangan kerja.
Targetnya adalah, mahasiswa setelah tamat dari perguruan tinggi, menjadi seorang yang punya kepribadian yang baik, pola pikir yang analitis, kemandirian, wawasan dan cara pandang yang luas serta punya pengalaman mengelola suatu organisasi (baca : perusahaan). Ini merupakan modal untuk meningkatkan kualitas hidup sendiri dan menjadi sumber kebahagiaan bagi orang yang tidak mampu mengembangkan diri sendiri. Berarti, siap membuka lapangan kerja bagi orang yang bukan sarjana. Dengan demikian lulusan perguruan tinggi bisa menjadi seorang entrepreneur yang tidak perlu risau dengan urusan melamar pekerjaan ke perusahaan orang lain, namun siap menampung orang lain.
Ukuran prestasi mahasiswa secara formal tentunya dilihat dari Indeks Prestasi Kumulatif.
NIlai-nilai yang diperoleh dari evaluasi pada setiap mata kuliah yang diikuti selama kuliah menggambarkan prestasi mahasiswa, terlepas dari variasi mutu pelajaran yang didapatkan di bangku perguruan tinggi. Setidaknya, dalam melamar pekerjaan, Indeks Prestasi Kumulatif merupakan salah satu persyaratan untuk minimal lolos seleksi awal. Akan hal kepemimpinan, dapat terbentuk pada diri seseorang, antara lain melalui keikutsertaan dalam suatu pengolahan perkuliahan (SAL / student active learning). Masalahnya sekarang adalah, mahasiswa beranggapan bahwa prestasi dan kemimpinan yang dimiliki tidak lagi menjamin akan mudah mendapatkan pekerjaan setelah tamat kuliah.
Sikap dan pandangan ini sangat mempengaruhi perilaku dan budaya belajar mahasiswa. Dibandingkan dengan masa kuliah saya dulu, budaya belajar mahasiswa sekarang jauh berbeda. Sekarang mahasiswa cenderung mau serba instant. Kuliah dianggap sebagai suatu kegiatan formalitas saja.Tidak jarang terlihat mahasiswa menghabiskan lebih banyak waktunya untuk kegiatan2 semacam ormas, organisasi kepemudaan diluar kampus, aktif dalam berdemonstrasi …bahkan menjadi pemain bayaran….
Kegiatan seminar atau membuat karya ilmiah semakin kurang diminati siswa. Seolah tidak ada lagi hal yang dapat memotivasi siswa untuk berprestasi.
Jika diamati, fenomena ini semakin menjadi-jadi setelah reformasi. Pasca reformasi, siapapun dapat menjadi pejabat. Tanpa harus melalui perjuangan panjang melewati suatu jenjang pendidikan tertentu, siapapun dapat duduk menjadi anggota partai politik, … yang penting ada koneksi. Pengaruh koneksi orang kuat, atau petinggi negara jelas semakin terlihat peranannya dalam penerimaan pegawai. Tidak perlu prestasi dan embel2 lainnya seperti kepribadian menarik, kemandirian, jiwa pemimpin, dsb, asal punya koneksi orang kuat maka peluang kerja sudah didepan mata. Krisis keteladanan, kira2 begitu yang saya tangkap dari pembicaraan dengan mahasiswa. Mau jadi wirausahawan, mencari proyek juga sulit kalau tidak ada “orang dalam” di departemen/lembaga/ institusi. Mau masuk ke swasta kita bersaing dengan ribuan pelamar kerja yang sebagian merupakan titipan orang tertentu .
Bagaimana caranya menumbuhkan kembali rasa percaya diri dan optimisme mahasiswa?
Saya hanya dapat memberikan pandangan kepada mereka bahwa motivasi harus diubah, jangan lagi kuliah untuk mendapatkan predikat sarjana sebagai modal kerja. Mahasiswa harus sadar bahwa kegiatan akademik baik kurikuler maupun non kurikuler adalah suatu proses untuk membina kepribadian, pola pikir untuk meningkatkan kualitas hidup. Kegiatan perkuliahan adalah proses pembentukan pola pikir mahasiswa agar berpikir analitis, kritis dan kreatif hingga mampu menciptakan lapangan kerja. Kegiatan non kurikuler dimaksudkan agar siswa mempunyai kesempatan untuk berorganisasi dan mengembangkan bakatnya di lingkungan kampus. Dengan aktifitas dalam suatu organisasi tertentu, diharapkan mahasiswa belajar mengelola suatu institusi kecil, mengemukakan pendapat, mendengar dan belajar menghargai pendapat orang lain. Mahasiswa dapat mengembangkan kreatifitas dan menuangkan ide2 serta pemikirannya, tukar pengalaman, pengamatan dan pendapat melalui kegiatan non kurikuler.
Dengan demikian, tujuan masuk Perguruan Tinggi bukan sekedar untuk “menuntut ilmu” agar menjadi sarjana dan ijasah sarjananya digunakan untuk melamar pekerjaan saja. Justru pengetahuan dan pengalaman di kampus merupakan modal menciptakan lapangan kerja. Pandangan itu harus diubah agar tidak menimbulkan apatisme ketika ijasah “sarjana” tidak laku melamar pekerjaan apabila tidak ada “koneksi”. Jadilah pencipta lapangan kerja, hindarkan menjadi pemburu lapangan kerja.
Targetnya adalah, mahasiswa setelah tamat dari perguruan tinggi, menjadi seorang yang punya kepribadian yang baik, pola pikir yang analitis, kemandirian, wawasan dan cara pandang yang luas serta punya pengalaman mengelola suatu organisasi (baca : perusahaan). Ini merupakan modal untuk meningkatkan kualitas hidup sendiri dan menjadi sumber kebahagiaan bagi orang yang tidak mampu mengembangkan diri sendiri. Berarti, siap membuka lapangan kerja bagi orang yang bukan sarjana. Dengan demikian lulusan perguruan tinggi bisa menjadi seorang entrepreneur yang tidak perlu risau dengan urusan melamar pekerjaan ke perusahaan orang lain, namun siap menampung orang lain.
3 comments:
wah...
bagus banget nih blog nya Bu..
emang bener yang dibilang Ibu, banyak mahasiswa yang berpola pikir begitu.. karena banyak mahasiswa yang telah melihat kejadian2 yang seperti itu "Nyari kerja lebih tergantung ke koneksi nya kita". Kalau seandainya punya koneksi tetapi tidak punya ilmu juga aneh deh kayaknya. Lebih bagus punya ilmu, kepribadian yang baik dan kepemimpinan seperti yang dibilang Ibu. Kalau dibandingin sih ilmu,kepribadian,kepemimpinan > koneksi. hahaha..
thanks yah Bu, buat informasinya. nih bisa jadi pegangan hidup saya, supaya bisa lebih percaya diri.
@surya:
sistem koneksi yang mengabaikan mutu suatu saat akan jadi bumerang. Sukses buat kamu ya...
Bilamana kita buat satu penelitian setiap siswa yang ingin masuk di Universitas, hypothesa kita tidak lain dari "mereka tidak mempunyaipegangan untuk belajar". Yang penting jadi mahasiswa, persoalan di belakang. Apabila pikiran seperti ini yang mencekam diri mahasiswa, pasti ia tidak belajar dalam arti tidak terjadi perobahan tingkah laku. Belajar di Perg. Tinggi bukan seperti di SD/SM tetapi dengan sistem Student Active Learning/Problems solving, memahami teori dengan aplikasinya. Oleh karenanya, belajarlah dengan memahami hubungan ilmu pengetahuan dengan kebutuhan akan ilmu itu. Antara ilmu yang dipelajari dengan kebutuhan di lapangan harus match sedemikian rupa, sehingga bilamana selesai studi, mulai membuka lapangan kerja. Bahkan semasih dalam studi, mahasiswa sudah harus mampu membuka lapangan kerja, dengan kata lain, harus mampu mandiri. Kiranya mahasiswa yang sudah memasuki semester V sudah mulai menjajagi jalan memperoleh income. Tidak selalu mengharapkan BLT dari orangtua. Jangan mencari lapangan kerja, tetapi ciptakanlah lapangan kerja. Untuk itu, jauhkan partisipasi dalam politik praktis, demonstrasi, tawuran, tindakan kekerasan, pengaruh orang berduit yang memperbudak anda sebagai mahasiswa. Jadilah kaum intelektual yang cinta tanah air, masyarakat, bangsa dan negara RI dan lainnya.
Post a Comment